Facebook Badge

Monday, May 24, 2010

Ketidakadilan Ekonomi dan Gagasan Sosialisme

Ketidakadilan Ekonomi dan Gagasan Sosialisme

Agung Nugroho

“Kita harus berjuang dengan sekuat-kuatnya, sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.“ (Nyai Ontosoroh )

Hubungan Produksi Ekonomi dengan Sejarah Perkembangan Masyarakat

Menurut kenyataan sejarah perkembangan masyarakat disimpulkan bahwa masyarakat manusia telah mengalami berbagai macam tingkat perkembangan. Hal ini dapat dibedakan dalam 5 (lima ) macam cara produksi yang mewakili 5 (lima) tipe susunan atau system masyarakat, antara lain sebagai berikut : 1. Komune Primitif 2. Pemilikan Budak 3. Feodalisme 4. Kapitalisme 5. Sosialisme. Sistem masyarakat tersebut dalam perwujudannya di berbagai negeri sudah barang tentu mempunyai kekhususannya masing-masing. Tetapi di antaranya terdapat ciri-ciri atau sifat –sifat umum di semua negeri dan yang pertama-tama ditentukan oleh watak dari hubungan-hubungan produksi ekonomi dalam masyarakat itu.

Sistem komune primitif ( urikomunismus, urgemeinschaft) adalah system masyarakat sebelum masyarakat terbagi-bagi kedalam klas-klas sosial. Sistem kepemilikan budak, Feodalisme dan Kapitalisme, merupakan bentuk masyarakat yang sudah terbagi dalam klas-klas sosial, yang berdasarkan hak milik perseorangan atas alat-alat produksi berdasarkan hubungan produksi ekonomi yang tidak seimbang ( penghisapan terhadap klas pekerja ). Sosialisme adalah system masyarakat yang berdasarkan hak milik kemasyarakatan atas alat-alat produksi, masyarakat yang terbebas atas penindasan manusia terhadap manusia yang lain.

Lebih lanjut dapat dijelaskan sifat-sifat terpenting dari masing-masing masyarakat atau cara produksi tersebut, sebagai berikut :

Sistem Komune Primitif

fase kehidupan manusia purba/ komune primitif berdasarkan corok produksinya yakni:

1. masa berburu dan meramu tingkat sederhana (Palaeothik).

2. masa berburu dan meramu tingkat lanjut (Mesolithik).

Masa berburu dan meramu tingkat sederhana (Palaeothik)

Pada masa ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, manusia hanya melakukan proses ekstradiksi konsumtif terhadap alam secara subsiten dan hidup secara nomaden berdasarkan tingkat ketersediaan pangan. Masa ini berlangsung lambat, karena jenis peralatanya yang sangat sederhana. Hidup no maden dikarenakan area yang dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sangat luas.

Dalam cara produksi komunal primitif, alat-alat produksi dimiliki secara bersama (atau alat produksi adalah milik sosial). Posisi dan hubungan mereka atas alat-alat produksi adalah sama. Semua orang bekerja dan hasil produksinya dibagi secara adil diantara mereka. Karena alat produksi masih primitif hasil produksinya pun belum berlebihan diatas dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga tidak ada basis/alasan orang/kelompok untuk menguasai hasil kerja orang lain.

Manusia pada masa ini dalam mendapatkan makanan dilakukan dengan cara berburu dengan menggunakan teknologi sederhana. Mereka masih menggunakan alat yang terbuat dari batu, dikarenakan aktivitas ini memerlukan tenaga, fisik yang besar, maka aktivitas berburu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan disekitar rumah, seperti meramu hasil buruan, menjaga anak dan menjaga lingkungan.

Di wilayah benua Asia didapati perkakas, yang dipergunakan oleh penduduk Asia yang pertama. Tempat kediaman mereka terletak dilembah sungai atau digoa-goa, karena disitulah pula perkakas yang dimaksud itu yang terbanyak ditemukan, terutama diantara barang-barang itu adalah kapak dari batu yang tidak mempunyai tangkai (gagang. ) atau yang disebut kapak tangan. Mereka dalam pemenuhan ekonominya dengan cara berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan buah-buahan.

Masa berburu dan meramu tingkat lanjut (Mesolithik)/ Palaeothik Tinggi

Dalam sejarah teknologi, revolusi palaeothik nTinggi meletus sekitar 70.000/40.000 tahun yang silam3 jenis perkembangan peralatan cepat dengan kemajuan dalam teknik penyerpihan dan pemecahan alat-alat dari batu. Masa tersebut juga menghasilkan setidaknya tiga penciptaan sebagai pioneer: budidaya anjing, seni pemanahan dan lukisan, serta pembuatan model yang menyerupai binatang dan manusia. Prestasi para pemburu Palaeothik Tinggi dalam menjinaklkan anjing yang semula merupakan pesaing-mungsuhnya sehingga menjadi binatang pembantu yang taat merupakan keberhasilan pertama manusia dalam melatih binatang non-manusia dengan tugas tertentu demi tujua-tujuan manusia.

Peradaban sudah maju tidak hanya di Eropa melainkan sudah meluas ke sebagaian besar benua Asia dan Amerika. Penduduk berdiam dalam rumah keju, yang dihiasi dengan ukir-ukiran. Dalam membuat busur panah, manusia Palaeonthik Tinggi memanfaatkan kekuatan sebuah benda fisik tak bernyawa, yakni elastisitas kayu, yang me mungkinkan daya otot manusia untuk menarik busur dan menembakan anak panah lebih jauh dari pada lemparan tangan manusia tanpa alat Bantu. Sementara itu, lukisan dan pembuatan binatang serta manusia tiruan adalah karya seni rupa pertama yang diketahui. Para pelukis dinding gua memanfaatkan permukaan dinding yang tidak rata untuk membuat relief-relief dasar yang mirip dengan binatang.

Sistem Pemilikan Budak

Masa bercocok tanam (Neolithik)

Pada masa ini manusia menemukan cara-cara untuk menggerinda dan menyerpih sesuai dengan tujuan pembuatnya, tetapi juga memungkinkan para pembuat alat menciptakan semakin banyak alat dengan bahan-bahan mentah tersedia. Namun demikian, prestasi yang menonjol pada masa Neolithik ini bukanlah seni menggerinda alat-alat, melainkan budidaya sejumlah spesies tanaman dan binatang.

Agrikutur (bersawah) dan pertenakan hewan secara pasti telah menjadi sebuah penemuan manusia terpenting sampai saat ini. Kedua penemuan ini sebagai dianggap sebagai sarana yang sangat baik untuk mensejahterakan yaitu sebagai syarat untuk keberlangsungan hidup secara komunal.manusia berlajar sebagian hasil panen tahunannya sebagai benih penanaman tahun berikutnya. Corak produksi beserta alat-alat perkakasnya terbagi menjadi dua fase :

1. Fase batu besar (megalitikum) yaitu kebudayaan dan corak produksi manusia mengunakan perkakas batu sebagai alat untuk berccocok tanam dan memahat bagunan batu besar sebagai tempat persembahan ataupun sebagai kuburanan batu untuk nenek moyang :

a. Menhir, yaitu Tugu batu tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang.

b. Waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat.

c. Dolmen, yaitu meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang.

d. Punden Berundak-undak, yaitu bangunan suci tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dibuat dalam bentuk bertingkat-tingkat.

e. Sarkofagus, yaitu peti jenazah yang terbuat dari batu bulat (batu tunggal)

f. Kubur Batu, yaitu peti jenazah yang terbuat dari batu pipih.

g. Arca, yaitu patung yang menggambarkan binatang atau manusia yang biasanya disembah.

2. Fase logam yaitu kebudayaan manusia dan corak produksi manusia sebagian besar menggunakan benda-benda yang terbuat dari logam atau zaman ketika manusia sudah menggunakan alat-alat kehidupan dengan peralatan yang berasal dari logam. Dibagi menjadi tiga fase:

a. Fase Tembaga, adalah zaman ketika manusia mulai mengenal peralatan dari logam

b. Fase Perunggu, adalah zaman ketika manusia mampu membuat alat-alat dari perunggu. Contohnya:
a. Kapak Corong
b. Nekara
c. Perhiasan perunggu

c. Zaman Besi, yaitu zaman ketika manusia telah dapat mengolah bijih-bjih besi untuk membuat peralatan-peralatan yang dibutuhkan.

Hubungan produksi dan corak produksi inilah awal pertama masyarakat terbagi dalam klas-klas sosial Yang berdasarkan penghisapan manusia atas manusia yang lain, dalam masyarakat pemilikan budak terdapat dua kelas yang saling bermusuhan , yaitu tuan budak dan budak, karena dari pola hubungan produksi bukan lagi pemenuhan atas kebutuhan hidup bersama-sama dalam kelompok (komune) akan tetapi kelebihan produksi menjadi milik perseorangan. Suku-suku yang kuat akan menguasai suku-suku yang lemah untuk dijadikan budak dan merampas tanah untuk dijadikan kepemilikan segelintir orang atau pribadi.

Sistem Feodalisme

Sementara dalam masa feodalisme (berasal dari kata feodum yang berarti tanah) dimana terdapat dua kelas utama yaitu tuan feodal (bangsawan pemilik tanah) dengan kaum tani hamba atau petani yang pembayar upeti. Produksi utama yang dihasilkan didapatkan dari mengolah tanah. Tanah beserta alat-alat kerjanya dikuasai oleh tuan feodal atau bangsawan pemilik tanah. Kaum Tani hambalah yang mengerjakan proses produksi. Ia harus menyerahkan (memberikan upeti) sebagian besar dari hasil produksinya kepada tuan feodal atau para bangsawan pemilik tanah.

Engels mengatakan “hubungan-hubungan dalam ekonomi feodal yaitu hak mengusahakan tanah dengan upeti-upeti serta kerja-wajib perseorangan tertentu yang mana membuat petani-petani hamba ini terikat sedemikian rupa dengan tanah garapan milik tuan tanah. Petani-petani beserta keluarganya hidup dan berkembang dari di tanah garapan tersebut dan berproduksi untuk keperluan subsistensinya yang kemudian dipotong pajak atau sewa tanah yang mencekik oleh tuan tanah”.

Kaum tani tidak merupakan sepenuhnya milik kaum tuan tanah, karena ia mengusahakan tanah sendiri. Kaum tani lebih punya kemauan untuk bekerja daripada budak. Tetapi kaumtani harus membayar sewa tanah tanah yang berat kepada tuan tanah, bagian terbesar waktunya tidak dipergunakan buat bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk tuan tanah. Jadi etatp berlaku dan berlangsung penindasan klas. Oleh karenanya , kedudukan kaum tani sering tidak banyak berbeda dari kedudukan budak.

Sepanjang zaman feodal, kaum tani berjuang melawan tuan tanah. DAlam sejarah tiap-tiap negeri terjadi epmberontakan petani bahkan beralngsung hingga puluhan tahun. Pemberontakan petani inilah yang melemahkan dasar-dasar feodalisme, dan akibatnya meruntuhkan feodalisme itu sendiri. Tetapi kaum petani belum bisa mencapai kebebasan dari penghisapan. Hasil perjuangan revolusioner kaum tani dimiliki oleh kelas borjuasi yang tumbuh pada masyarakat feodal. Revolusi borjuis menyingkirkan system feodal untuk kemudian menegakkan kekuasaan kapitalisme.

Sistem kapitalisme

Masyarakat dibawah kapitalisme terbagi dalam kelas kapitalis atau borjuis dan kelas buruh atau proletariat. Buruh bukan milik kapitalis dan tidak dapat diperjualbelikan. Ia kelihatannya bebas tetapi ia tidak memiliki sama sekali alat-alat produksi sehingga terpaksa menjual tenaga kerjanya kepada pemilik alat-alat produksi yaitu si kapitalis (pemilik pabrik, perusahaan, dll). Buruh harus bekerja membanting tulang supaya tidak mati kelaparan sementara di pihak lain, suatu grup kecil kaum penghisap mendapat laba besar sedangkan massa pekerja makin lama makin banyak menderita, sengsara dan miskin. Jadi penghisapan atas kelas pekerja masih tetap berlangsung walaupun bentuknya sudah berubah.

Dibawah system kapitalis, produktivitas sangat tinggi dan produksi mencapai perluasan yang belum terjadi sebelumnya, pabrik dan perusahaan besar dilengkapi dengan mesin-mesin serta memperkerjakan ribuan buruh. Era inilah disebut era revolusi industry pada abad ke-17, dimana awal ditemukannya mesin uap oleh james watt, yang mengakibatkan industry besar-besaran di benua eropa. Eropa yang sebagian besar memiliki wilayah jajahan di Afrika, Asia dan Amerika latin memerlukan bahan-bahan mentah seperti batu bara, minyak bumi untuk menggerakkan roda-roda industry. Kebijakan kolonialisme untuk mengeksploitasi negeri jajahan dan pasar tenaga kerja yang murah menjadi praktek kapitalisme bagi negeri-negeri penjajah eropa pada masa itu. Di dalam dunia kaptalisme, barang-barang hasil industri adalah hasil kerja masyarakat dan bukan hasil kerja perorang, umpamanya pakaian atau tekstil buatan pabrik bukanlah hanya hasil kerja dari buruh-buruh yang berbagai macam keahliannya didalam pabrik pakaian tersebut, melainkan juga hasil kerja dari buruh yang membuat mesin-mesin dan bahan mentah yang diperlukan untuk pembuatan pakaian itu. Ini berarti telah terjadi sosialisasi kerja manusia dalam proses produksi tetapi hasil produksi dari kerja jutaan manusia itu hanya dimiliki oleh beberapa gelintir manusia, karena mereka yang memiliki produksi, seperti perusahaan, pabrik, tanah. Inilah sumber dari ketidakadilan masyarakat kapitalisme karena kaum kapitalis tidak memperdulikan kepentingan masyarakat, mereka hanya memproduksi dan menjual barang-barangnya untuk mendapatkan laba. Untuk memperbesar labanya mereka memperluas produksi, memperpanjang jam kerja para buruh dengan upah buruh yang lebih rendah dan melarang buruh untuk berserikat. Oleh karena semua perusahaan kapitalis merencanakan produksinya sendiri-sendiri dengan tujuan mendapatkan laba sebesar mungkin tanpa adanya kordinasi satu sama lain, maka akibatnya barang-barang yang dihasilkan pabrik kapitalisme itu jauh lebih banyak daripada permintaan dalam pasar. Anarki produksi ini menimbulkan krisis ekonomi kelebihan produksi, sehingga harga barang itu cenderung menurun karena persaingan dalam pasar. Untuk mepertahankan harga jangan jatuh terlalu rendah, kaum kapitalis menghancurkan barang-barang produksi mereka yang menumpuk dalam gudang juga mengurangi atau menghentikan produksi dengan memecat buruh secara besar-besaran. Hal ini peranah dilakukan oleh Pemerintah kolonial Belanda ketika abad ke 17, dimana VOC ketika memonopoli perdagangan di Indonesia punya hak ectrapasi yaitu hak untuk membakar perkebunan cengkeh, kopi, lada dan pala ketika mengalami over produksi di Indonesia.

Negara Inggris merupakan Negara kapitalis yang paling maju pada abad ke 19. Seiring dengan perkembangan itu timbul banyak persoalan yang perlumendapatka penjelasan teoritis untuk dapat membimbing pemecahannya dalam praktek. Situasi demikian dengan sendirinya melahirkan ahli-ahli ekonomi yang besar yang besar di Inggris , seperti Adam Smith ,David Ricardo dan sebagainnya. Para ahli ekonomi inilah yang melakukan penelitian perkembangan kapitalisme untuk menjawab persoalan-persoalan yang timbul. Misalnya, apa yang menentukan nilai barang dagangan dalam pertukaran jual-beli. Adam smith dan David Ricardo mengemukakan hasil penelitiannya bahwa yang menjadi dasar perhitungan dalam pertukaran barang dagangan itu adalah jumlah kerja manusia yang terkandung dalam barang dagangan , ialah nilai barang dagangan. Dan Marx seterusnya mengembangkan lebih lanjut dan labih mendalam mengenai hasil-hasil penelitian mereka.

Sistem Sosialisme

Di dalam masyarakat sosialis alat-alat produksi dimiliki bersama oleh masyarakat . Karena itu di dalam masyarakat sosialis tidak mungkin lagi ada orang-orang atau golongan-golongan yang dapat menggunakan alat-alat produksinya untuk menghisap karja orang lain. Hanya orang yang bekerja berhak makan. Tujuan hubungan produksi ekonomi sosialisme dalam mengatasi ketidakadilan ekonomi adalah menjamin dipenuhinnya secara maksimum kebutuhan material dan kultual yang semakin meningkat dari klas pekerja. Tujuan ini dapat dicapai dengan jalan terus-menerus meningkatkan dan menyempurnakan produksi sosialis di atas dasar teknik setingi-tingginya. Pembagian hasil-hasil produkasi dalam masyarakat sosialis dilaksanakan menurut prinsip, setiap orang bekerja menurut kesanggupannya, setiap orang menerima hasil kerja. Para para pemikir sosialisme yang melawan kapitalisme. Antara lain:

Sosialisme Utopis atau Sosialisme Utopia adalah sebuah istilah untuk mendefinisikan awal mula pemikiran sosialisme modern. Para sosialis utopis tidak pernah benar-benar menggunakan ini untuk menyebut diri mereka; istilah "Sosialisme Utopis" awalnya diperkenalkan oleh Karl Marx dan kemudian digunakan oleh pemikir-pemikir sosialis setelahnya, untuk menggambarkan awal kaum sosialis intelektual yang menciptakan hipotetis masa datang dari penganut paham egalitarian dan masyarakat komunal tanpa semata-mata memperhatikan diri mereka sendiri dengan suatu cara dimana komunitas masyarakat seperti itu bisa diciptakan atau diperjuangkan. Kata utopia sendiri diambil dari kisah pulau Utopia karangan Thomas Moore.

1. Thomas More (1478-1535)

Mengorganisasikan masyarakat di sebuah pulau dan semua memiliki pendapat yang sama . semua bekerja dibengkel tanpa pemilik, semua sebagai pekerja.

2. Babeuf dengan “manifesto kaum plebeyes” (1760-1797)

- Tanah dan bumi bukan milik pribadi, tetapi milik semua. Apa yang diambil orang melebihi kebutuhan makannya adalah pencurian milik masyarakat dan harus dikembalikan.

- mencita-citakan terbentuknya suatu republic oleh dan utuk orang-orang yang sama posisinya. Karena alat produksinya tanah , menunjukkan saat itu peralwananan terhadap feodalisme.

3. Saint Simon

- Mengharapkan masyarakat adil dan makmur bukan melalui perjuangan klas, tetapi dengan penataan nasyarakat dari natas yang ilmiah ( taknokratik ). Pengikutnya mnejadi gerakat filasafat religious.

4. Robert Owen (1771-1858) adalah seorang pelaku bisnis sukses yang menyumbangkan banyak laba dari bisnis nya demi peningkatan hidup karyawannya. Reputasi dia meningkat ketika dia mendirikan suatu pabrik tekstil di New Lanark, Skotlandia dan memperkenalkan waktu kerja lebih pendek, membangun sekolah untuk anak-anak dan merenovasi rumah-rumah tempat tinggal pegawainya. Ia juga merancang suatu komunitas Owenite yang disebut New Harmony (Keselarasan Baru) di Indiana, AS. Komunitas ini bubar ketika salah satu dari mitra bisnisnya melarikan diri dengan membawa semua laba yang ada.

Sosialisme Ilmiah

Karl Mark dan F. Engels (1818-1883) Kapital dan Nilai lebih, ekonomi kapitalisme tidak hanya mengatasi keterbatasan ekonomi klasik borjuasi dalam teori nilai dan teori uang. Baik Adam Smith maupun David Ricardo terbentur dalam jalan buntu ketika hendak menjelaskan hubungan natara capital dengan kerja , tentang asal-usul nilai lebih.

Dalam suratnya kepada seorang ahli ekonomi inggris Mc. Culloch (1789-1864), Ricardo menulis: “Saya tidak puas dengan penjelasan saya mengenai azaz-azaz yang menguasai nilai. Saya harap aka nada seorang manusia yang lebih cakap daripada saya, yang dapat menyelesaikannya” dan ternyata Karl mark bersama F. Engels berpuluh-puluh tahun kemudian setelah wafatnya Ricardo, dapat memberikan penyelesiannya. Sebabnya Mark dan Engels menembus keterbatasan pendirian kelas borjuis yang menganggap kapitalisme sebagai susunan ekonomi yang tertinggi terakhir dan abadi. Dengan menempatkan diri pada pendirian kelas yang sedang tumbuh dan maju yaitu kelas proletar Mark dan Engels dapat mengupas sifat historis dari kategori-kategori ekonomi kapitalisme dan melahirkan ekonomi politik yang bukan saja mengatasi keterbatasan ekonomi klasik borjuis, tetapi juga menjadi senjata untuk mengatasi kapitalisme itu sendiri. Menyikapkan “rahasia” penghisapan kapitalis ialah teori nilai lebih dari Mark dan Engels. Oleh karena itu, Lenin menamakan ajaran tentang nilai lebih sebagai batu alas (fondasi) dari teori ekonomi Mark.

Untuk menjelaskan pokok-pokok dari teori nilai lebih ini dimulai sedikit penjelasan tentang kapital. Pada tingkat tertentu dari perkembangan produksi barang dagangan, uang berubah menjadi kapital. Uang itu sendiri bukan kapital. Misalnya, bagi produsen-produsen kecilbarang dagangan yang hidup dari penjualan barang-barang hasil mereka, uang berperan sebagai alat peredaran dan bukan sebagai kapital. Rumus peredaran barang ialah B-U-B (barang dagangan-uang-barang dagangan). Yaitu menjual barang dagangan demi membeli barang dagangan lain atau dengan kata lain nilai pakai yang satu do tukar dengan nilai pakai yang lain. Jadi tujuan dari proses peredaran adalah nilai pakai. Tapi uang menjadi kapital bila dipergunakan untuk menghisap kerja orang lain. Rumus untuk kapital ialah U-B-U membeli guna menjual (dengan untung). Disini adalah awal dan akhir proses adalah sama : uang (nilai). Oleh sebab itu gerak kapital tidak aka nada artinya jika jumlah uang pada akhir proses masih tetap sama dengan jumlah uang pada awalnya. Seluruh arti dari aktivitas kapitalis terletak dalam hal bahwa akibat operasi itu ia mempunyai lebih banyak uang daripada yang dimiliki semula. Jadi tujuan proses peredran disini ialah bertambahnya nilai. Maka, rumus umum kapital dalam bentuk lengkapnya adalah: U-B-U* (U*=U+U). Apakah sumber pertambahan kapital itu? Pertambahan ini tidak dapat timbul dari peredaran barang dagangan. Sebab itu hanya pertukaran barang-barang yang senilai. Pertambahan itu juga tidak dapat terjadi dari kenaikan harga, sebab untung yang didapat sebagai penjual akan hilang sebagai kerugian yang diderita sebagai pembeli. Sedangkan yang dipersoalkan bukan gejala individual, melainkan gejala sosial, rata-rata dan masal. Dalam kenyataan yang sesungguhnya, pertambahan kapital diperoleh oleh seluruh kelas kapitalis

Teranglah, pemilik uang untuk menjadi kapitalis harus mendapatkan dipasar suatu barang dagangan yang lebih dipergunakan dapat menciptakan nilai yang lebih besar dari nilai barang itu sendiri. Dengan kata lain pemilik uang harus mendapatkan di pasar suatu barang dagangan yang nilai pakainya memiliki sifat khas sebagai sumber nilai. Dan memang ada barang dagangan semacam itu, yaitu tenaga kerja manusia dengan menunjukkan bahwa buruh menjual kepada kaum kapitalis bukan kerja melainkan tenaga kerja. Mark telah memecahkan masalah yang menyebabkan ekonomi politik klasik memasuki jalan buntu. Ini bukanlah main sulap dengan kata-kata belaka, melainkan salah satu dari hal yang terpenting dalam seluruh ekonomi politik

Daftar Pustaka :

1. Tjoo Tik Tjoen. “Ekonomi Politik Marxis”, Lesma, 2008. Jakarta.

2. Agung Nugroho. Artikel diskusi UIN “Cultur Dan Gerakan Petani di Indonesia abad 18- 20”.Jakarta 2010. Universitas Islam Negeri.

3. G.V Plakanov. “ Sosialisme Utopian Abad XIX”selected workers. Edisi lima jilid. 1957.

Cultur Dan Gerakan Petani di Indonesia abad 18-20

Cultur Dan Gerakan Petani di Indonesia abad 18-20

Oleh Agung Nugroho

Latar belakang sejarah perkembangan masyarakat Indonesia

Kita harus memulai pemahaman bahwa manusia hidup memerlukan makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan kebutuhan tersebut harus diproduksi, sehingga mengharuskan manusia bekerja untuk memproduksinya. Dalam proses produksi inilah, manusia mengembangkan dan menggunakan alat-alat produksi (alat-alat kerja dan objek kerja) disamping tenaga kerjanya sendiri. Dari mulai tangan, batu, kapak, lembing, palu, cangkul hingga computer dan mesin-mesin modern saat ini. Alat-alat produksi (teknologi didalamnya) dan tenaga kerja manusia (pengalaman dan ilmu pengetahuan) tidak pernah bersifat surutakan tetapi berkembang maju yaitu sebagai tenaga produktif masyarakat yaitu tenaga yang mendorong perkembangan masyarakat.

Dalam suatu aktivitas proses produksi guna memenuhi kebutuhannya manusia berhubungan dengan manusia lain. Karena Proses produksi selalu merupakan hasil saling hubungan antar manusia, maka sifat dari produksi juga selalu bersifat sosial. Saling hubungan antar manusia dalam suatu proses produksi ini disebut sebagai hubungan sosial produksi. Dari kegiatan produksi ini kemudian muncul kegiatan berikutnya yaitu distribusi dan pertukaran barang. Hubungan sosial produksi dalam sebauh masyarakat bisa bersifat kerja sama atau bersifat penghisapan. Hal ini tergantung siapakah yang memiliki atau menguasai seluruh alat-alat produksi (alat-alat kerja dan obyek kerja).

Berdasarkan Posisi dan hubungannya dengan alat-alat produksi inilah masyarakat kemudian terbagi kedalam kelompok-kelompok yang disebut kelas-kelas. Misalnya Dalam suatu masyarakat berkelas selalu terdapat dua kelas utama yang berbeda yang saling bertentangan berdasarkan posisi dan hubungan mereka dengan alat-alat produksi. Tetapi, tidak semua cara produksi masyarakat terdapat pembagian kelas-kelas. Dalam sejarah umat manusia terdapat suatu masa dimana belum terdapat pembagian masyarakat ke dalam kelas-kelas.

Jaman Komunal Primitif

fase kehidupan manusia purba/ komune primitif berdasarkan corok produksinya yakni:

1. masa berburu dan meramu tingkat sederhana (Palaeothik).

2. masa berburu dan meramu tingkat lanjut (Mesolithik).

Masa berburu dan meramu tingkat sederhana (Palaeothik)

Pada masa ini untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, manusia hanya melakukan proses ekstradiksi konsumtif terhadap alam secara subsiten dan hidup secara no maden berdasarkan tingkat ketersediaan pangan. Masa ini berlangsung lambat, karena jenis peralatanya yang sangat sederhana. Hidup no maden dikarenakan area yang dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan sangat luas.

Dalam cara produksi komunal primitif, alat-alat produksi dimiliki secara bersama (atau alat produksi adalah milik sosial). Posisi dan hubungan mereka atas alat-alat produksi adalah sama. Semua orang bekerja dan hasil produksinya dibagi secara adil diantara mereka. Karena alat produksi masih primitif hasil produksinya pun belum berlebihan diatas dari yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sehingga tidak ada basis/alasan orang/kelompok untuk menguasai hasil kerja orang lain.

Manusia pada masa ini dalam mendapatkan makanan dilakukan dengan cara berburu dengan menggunakan teknologi sederhana. Mereka masih menggunakan alat yang terbuat dari batu, dikarenakan aktivitas ini memerlukan tenaga, fisik yang besar, maka aktivitas berburu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan melakukan pekerjaan disekitar rumah, seperti meramu hasil buruan, menjaga anak dan menjaga lingkungan.

Di jawa timur dan jawa tengah ada didapati perkakas, yang dipergunakan oleh penduduk pulau jawa yang pertama. Tempat kediaman mereka terletak dilembah sungai solo, karena disitulah pula perkakas yang dimaksud itu yang terbanyak ditemukan, terutama diantara barang-barang itu adalah kapak dari batu yang tidak mempunyai tangkai (gagang. ) atau yang disebut kapak tangan. Mereka dalam pemenuhan ekonominya dengan cara berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan buah-buahan.

Masa berburu dan meramu tingkat lanjut (Mesolithik)/ Palaeothik Tinggi

Dalam sejarah teknologi, revolusi palaeothik nTinggi meletus sekitar 70.000/40.000 tahun yang silam3 jenis perkembangan peralatan cepat dengan kemajuan dalam teknik penyerpihan dan pemecahan alat-alat dari batu. Masa tersebut juga menghasilkan setidaknya tiga penciptaan sebagai pioneer: budidaya anjing, seni pemanahan dan lukisan, serta pembuatan model yang menyerupai binatang dan manusia. Prestasi para pemburu Palaeothik Tinggi dalam menjinaklkan anjing yang semula merupakan pesaing-mungsuhnya sehingga menjadi binatang pembantu yang taat merupakan keberhasilan pertama manusia dalam melatih binatang non-manusia dengan tugas tertentu demi tujua-tujuan manusia.

Peradaban sudah maju tidak hanya di Jawa melainkan sudah meluas ke sebagaian besar Indonesia. Penduduk berdiam dalam rumah keju, yang dihiasi dengan ukir-ukiran. Dalam membuat busur panah, manusia Palaeonthik Tinggi memanfaatkan kekuatan sebuah benda fisik tak bernyawa, yakni elastisitas kayu, yang me mungkinkan daya otot manusia untuk menarik busur dan menembakan anak panah lebih jauh dari pada lemparan tangan manusia tanpa alat Bantu. Sementara itu, lukisan dan pembuatan binatang serta manusia tiruan adalah karya seni rupa pertama yang diketahui. Para pelukis dindidng gua memanfaatkan permukaan dinding yang tidak rata untuk membuat relief-relief dasar yang mirip dengan binatang.

Jaman Perbudakan

Masa bercocok tanam (Neolithik)

Pada masa ini manusia menemukan cara-cara untuk menggerinda dan menyerpih sesuai dengan tujuan pembuatnya, tetapi juga memungkinkan para pembuat alat menciptakan semakin banyak alat dengan bahan-bahan mentah tersedia. Namun demikian, prestasi yang menonjol pada masa Neolithik ini bukanlah seni menggerinda alat-alat, melainkan budidaya sejumlah spesies tanaman dan binatang.

Agrikutur (bersawah) dan pertenakan hewan secara pasti telah menjadi sebuah penemuan manusia terpenting sampai saat ini. Kedua penemuan ini sebagai dianggap sebagai sarana yang sangat baik untuk mensejahterakan yaitu sebagai syarat untuk keberlangsungan hidup secara komunal.manusia berlajar sebagian hasil panen tahunannya sebagai benih penanaman tahun berikutnya. Corak produksi beserta alat-alat perkakasnya terbagi menjadi dua fase :

1. Fase batu besar (megalitikum) yaitu kebudayaan dan corak produksi manusia mengunakan perkakas batu sebagai alat untuk berccocok tanam dan memahat bagunan batu besar sebagai tempat persembahan ataupun sebagai kuburanan batu untuk nenek moyang :

a. Menhir, yaitu Tugu batu tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang.

b. Waruga, yaitu kubur batu yang berbentuk kubus atau bulat.

c. Dolmen, yaitu meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang.

d. Punden Berundak-undak, yaitu bangunan suci tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang dibuat dalam bentuk bertingkat-tingkat.

e. Sarkofagus, yaitu peti jenazah yang terbuat dari batu bulat (batu tunggal)

f. Kubur Batu, yaitu peti jenazah yang terbuat dari batu pipih.

g. Arca, yaitu patung yang menggambarkan binatang atau manusia yang biasanya disembah.

2. Fase logam yaitu kebudayaan manusia dan corak produksi manusia sebagian besar menggunakan benda-benda yang terbuat dari logam atau zaman ketika manusia sudah menggunakan alat-alat kehidupan dengan peralatan yang berasal dari logam. Dibagi menjadi tiga fase:

a. Fase Tembaga, adalah zaman ketika manusia mulai mengenal peralatan dari logam

b. Fase Perunggu, adalah zaman ketika manusia mampu membuat alat-alat dari perunggu. Contohnya:
a. Kapak Corong
b. Nekara
c. Perhiasan perunggu

c. Zaman Besi, yaitu zaman ketika manusia telah dapat mengolah bijih-bjih besi untuk membuat peralatan-peralatan yang dibutuhkan.

Latar belakang perkembangan masyarakat Feodalisme ( jaman Feodal)

Sementara dalam masa feodalisme (berasal dari kata feodum yang berarti tanah) dimana terdapat dua kelas utama yaitu tuan feodal (bangsawan pemilik tanah) dengan kaum tani hamba atau petani yang pembayar upeti. Produksi utama yang dihasilkan didapatkan dari mengolah tanah. Tanah beserta alat-alat kerjanya dikuasai oleh tuan feodal atau bangsawan pemilik tanah. Kaum Tani hambalah yang mengerjakan proses produksi. Ia harus menyerahkan (memberikan upeti) sebagian besar dari hasil produksinya kepada tuan feodal atau para bangsawan pemilik tanah.

Engels mengatakan “hubungan-hubungan dalam ekonomi feodal yaitu hak mengusahakan tanah dengan upeti-upeti serta kerja-wajib perseorangan tertentu yang mana membuat petani-petani hamba ini terikat sedemikian rupa dengan tanah garapan milik tuan tanah. Petani-petani beserta keluarganya hidup dan berkembang dari di tanah garapan tersebut dan berproduksi untuk keperluan subsistensinya yang kemudian dipotong pajak atau sewa tanah yang mencekik oleh tuan tanah”.

Kerajaan Hindu Kondisi pada masa feodalisme di Indonesia bisa diambil contoh pada masa kerajaan-kerajaan kuno seperti Mataram Kuno, Kediri, Singasari dan Majapahit. Dimana tanah adalah milik Dewa, dan raja adalah sebagai titisan dari dewa yang berhak atas penguasaan dan pemilikkan tanah. Keuntungan bagi kerajaan hindu ialah adanya strata atau tingkat tatanan sosial (kasta). Dalam agama hindu masyarakat dibagi menjadi empat (4) tingkatan atau kasta yaitu (1) Brahmana, yaitu pemuka agama. Mereka tinggal di dalam kerajaan dan biasanya menjadi penasehat raja. (2) Kesatria, yaitu raja, menteri-menterinya dan juga bangsawan yang tinggal didalam kerajaan. (3) Waisya, yaitu para pedagang dan petani, serta yang terakhir adalah Sudra, yakni tingkatan terendah dari tingkatan masyarakat sebagai budak.

Namun dalam tingkatan masyarakat tersebut kasta Waisya yang paling dominan yaitu petani, walau pun masih ada sisa-sisa perbudakan (Sudra)Petani berproduksi dengan cara mengolah tanah dan diharuskan membanyar upeti kepada raja berupa hasil panen.

Kerajaan Islam dan fase kolonialisme di Indonesia

Fase feodalisme kerajaan Islam muncul setelah kekalah kerajaan Majapahit pada 14 masehi. Islam datang lewat jalur perdagangan yang nantinya akan menghapuskan sisa-sisa perbudakan yang ada dalam peninggalaan kerajaan Mataram Hindu, namun tidak menghapuskan corak produksi feodalnya.

Pola kepemilikan tanah pada masa Mataram Islam sistem appanage, yaitu suatu kepemilikan tanah itu diserahkan kepada pejabat dengan syarat pejabat tersebut membayar upeti kepada penguasa pusat. Dan upeti itu diambil dari sebagian hasil dari petani.

Palihan Nagari atau pemecahan Kerajaan Mataram lama menjadi dua yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta bukan tanpa campur tangan pemerintah Kumpeni. Kekuatan asing ini tidak ingin melihat kedua Kerajaan Kejawen ini tumbuh kuat. Oleh karena itu pembagian daerah inti yaitu Nagaragung yang memang tingkat kesuburannya tidak sama namun bagian masing-masing harus sama yaitu masing-masing memperoleh 53.100 karya ( bahu atau cacah ). Maka akibatnya terjadi kesimpang siuran, dimana ditengah-tengah wilayah Sultan terletak lahan milik Sunan, demikian sebaliknya.

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumber yang berupa lahan Raja sebagai penguasa tertinggi atas segala sesuatu yang ada diwilayahnya menyerahkan tanah kepada kawulanya. Rakyat kebanyakan ini sebagai penggarap tanah pertanian yang ada di pedesaan. Suatu prinsip yang diduga sudah diterapkan sejak Kerajaan Demak yang menyertai hubungan tersebut adalah bahwa azas yang diterapkan dalam pembagian hasil produksi adalah sistem maro. Dalam sistem ini separuh hasil untuk pemilik tanah dan separuh hasil untuk petani penggarap. Sistem maro ini diperkirakan telah dipraktekkan di berbagai wiulayah di Indonesia khususnya di Tanah Jawa. Dan sisten ini pula yang mendasari setiap perjanjian bagi hasil dalam berbagai kegiatan ekonomi oleh masyarakat sampai sekarang.

Dalam melaksanakan pekerjaan penggarapan lahan itu Raja penunjuk seorang pengawas yaitu Kepala Desa, yang di Jawa disebut dengan bekel, lurah, petinggi, kuwu, dan sebagainya. Kecuali melakukan menyelenggarakan organisasi produksi dan melakukan pengawasan atas pelaksanakan kegiatan tersebut, Kepala Desa atau Bekel juga bertugas untuk mengumpulkan pajak. Sebagai upah dalam melaksanakan tugas tersebut, Bekel diberi gaji oleh Raja yaitu seluas seperlima dari luas tanah yang di bawah pengawasannya. Dengan demikian tanah pertanian di pedesaan dapat dibagi menjadi lima yaitu: Satuperlima bagian merupakan daerah bebas pajak karena berstatus tanah lungguh atau gaji bagi bekel. Sisanya yang empatperlima tetap menjadi milik Raja, yang disebut daleman. Tanah Raja ini apabila memberikan hasil, Raja berhak memperoleh separuhnya, dan separuhnya yang lain menjadi milik petani penggarap. Pembagian hasil tiu hanya berlaku bagi tanaman pokok yang ditanam di lahan pertanian yaitu padi. Untuk tanaman lain seperti palawija semula Raja tidak memperhitungkan. Baru pada masa kemudian ketentuan bagi hasil untuk palawija ditetapkan sepertiga bagian untuk Raja dan yang duapertiga untuk petani. Sistem ini lazim disebut dengan sistem mertelu. Diterapkannya sistem mertelu itu sejak 1743 saat daerah Kabupaten Pesisir diserahkan kepada VOC/Kumpeni.

Sistem bagi hasil dengan sistem mertelu tampaknya juga telah cukup populer di daerah yang kurang subur yaitu daerah pertanian dengan irigasi setengah teknis atau daerah tadah hujan, daerah pegagan yang lazim dijumpai di daerah pegunungan atau tanah kering. Lahan semacam itu digarap dengan cangkul atau dengan cara berhuma. Di lahan tersebut yang cara penggarapannya lebih sulit tetapi hasilnya lebih sedikit maka sudah sewajarnya kalau pajak yang dibayarnya juga lebih kecil. Di daerah yang pegunungan yang kondisi lahannya kurus sistem pajak yang diterapkan adalah seperempat bagian dari hasil panen atau sistem mrapat atau seperlima bagian dari hasil panen atau sistem maralima.

Tugas bekel sebagai penarik sebagian hasil dari penggarap semua minta penggarap menyerahkan sebagian hasil pertaniannya sesuai dengan kesepakatan antara Raja dengan penggarap. Namun pada masa kemudian Bekel diperintahkan untuk menarik pajak berupa uang. Besarnya pajak berupa uang diperkirakan setara dengan nilai hasil pertanian yaitu duaperlima dari setiap luasan lahan yang dikerjakan oleh seorang penggarap. Misalnya pajak tanah sebesar satu real setiap tahun untuk setiap jung tanah pertanian maka nilai duaperlima bagian dari hasil padi tanah selas satu jung juga kuranglebih sebesar satu real.

Sistem pajak tanah yang diduga telah dilaksanakan sejak sebelum pemerintahan Panembahan Senopati pada 1585 sampai 1601. Dalam sistem tersebut setiap jung tanah digarap oleh empat orang petani ( bahu ). Setiap petani harus menyerahkan kepada raja setengah hasil sawahnya atau dengan cara lain yaitu menyerahkan uang sebesar seperempat real setahun atau sebesar satu real untuk tanah satu jung. Untuk tanah daleman pajak ditetapkan berupa hasil bumi yaitu sebesar separuhnya.

Karena suatu alasan seperti menurunnya nilai real di Tanah Jawa seperti yang terjadi pada sekitar 1743 Raja mengubah uang pajak satu real untuk setiap jung tanah pertanian atau empat bahu menjadi satu real untuk setiap bahu. Karena satu jung adalah sama dengan empat bahu maka artinya sejak saat itu pajak meningkat menjadi empat kali lipat. Sebagaimana yang tertulis dalam daftar Keturunan Raja Jawa yang diterbitkan pada 1744 misalnya seorang Wedana mempunyai 1300 cacah dan di bawah perintahnya 5000 orang kepala maka pajak yang dapat dikumpulkan oleh Wedana tersebut adalah 1300 real setahun yang dikumpulkan dari tanah lungguhnya tetapi pajak tanah dari seluruh rakyatnya tercatat sebesar 5000 real setahun. Istilah cacah yang digunakan dalam daftar tersebut berarti tanda satuan pada tongkat atau papan. Satuan Karya atau bahu juga menunjukkan cacah atau kesatuan tanah yang terletak di suatu daerah. Sejak Palihan Nagari pada 1755 penyamaan istilah yang dilakukan menyebabkan perubahan pada naskah Belanda pada abad ke-18 dimana yang semula cacah berarti kesatuan beralih menjadi kelompok petani dan di kemudian hari berubah lagi menjadi kelompok keluarga.

Harta kekayaan Raja yang paling nyata adalah berupa tanah atau lahan pertanian dengan penduduk yang ada di atasnya. Bagi pegawai istana yang pada umumnya adalah kerabat Raja Tinggi rendahnya pangkat atau kedudukan menentukan luas tanah lungguh yang diterima oleh seorang pegawai istana. Tanah gaji bagi pegawai istana atau tanah lungguh itu prakteknya juga harus dipercayakan kepada Bekel sebagai pelaksana kegiatan organis produksi di tanah lungguh tersebut. Seperti yang terjadi saat tanah tersebut dikuasai langsung oleh Raja maka pegawai tersebut memperoleh seperlima bagian dari hasil pertanian sedangkan yang empatperlima dibagi dua antara bekel dan petani penggarap.

Di dalam wilayah Negaragung keadaanya berbeda. Di wilayah ini sebagian besar tanah Raja diserahkan kepada orang lain. Beberapa tanah tertentu seperti tanah narawita, tanah Mahkota, yaitu tanah di Kasultanan Mataram karena hasil padinya dan tanah tertentu didekat istana disediakan untuk Raja sendiri sebagai kebun bunga, untuk menanam rumput, dan sebagainya.

Seseorang yang memperoleh tanah lungguh di daerah narawito untuk melaksanakan haknya ia cukup menyerahkan kepada Bekel beserta penduduk yang ada di desa tersebut tanpa melewati perantara. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah sistem maro seperti yang diuraikan di depan. Sementara itu di wilayah mancanegara sistem bagi hasil yang dilaksanakan masih belum jelas karena di tempat tersebut kekuasaan pemerintah lokal masih cukup kuat sehingga sistem yang diterapkan di pusat belum cukup mempengaruhi pelaksanaan di daerah.

Dengan menyusutnya luas tanah lungguh seperti yang terjadi di daerah Kedu pada 1812 sebagai akibat menyusutnya luas Praja Kejawen. Akibat dari keadaan tersebut adalah untuk pertama kali Raja Mataram memberi gaji kepada pegawainya berupa uang, sebagai tunjangan kepada beberapa orang pejabat. Dilaporkan bahwa pada 1820 sistem tunjangan di Kasultanan Yogya sudah meluas. Kasunanan lebih memiliki tanah karena sampai 1831 Sunan masih dapat memberi gaji pegawainya berupa tanah lungguh.

Sejalan dengan menyusutnya wilayah Praja Kejawen pemanfaatan lahan untuk tanah lungguh bagi pegawai atau sistem apanage menjadi masalah. Namun sepanjang masih dapat dilaksanakan maka sistem apanage ini tetap dipertahankan. Ada satu kesamaam di kedua Praja Kejawen yaitu bahwa tunjangan bagi pegawai adalah sebesar luasan karya tanah lungguh yang dikuasakan kepadanya. Pada abad ke-19 ada perubahan yaitu bahwa dahulu penghasilan pegawai adalah satu real intu tanah lungguh seluas satu jung maka kemudian menjadi empat real setahun untuk satu jung.

Masalah yang lazim muncul dalam penguasaan tanah adalah hak waris. Bagi tanah lungguh yang boleh diwariskan adalah hanya bagi anak anggota keluarga Raja. Bagi keluarga pera pegawai tidak dapat diwariskan. Pewarisanpun juga dibatasi sampai keturunan yang ke empat atau canggah, yaitu cucu dari cucu yang disebut sentana artinya mempnuyai hubungan darah dengan Raja. Putra Raja mempunyai derajat lebih tinggi daripada cucu Raja. Berhubung dengan hal tersebut maka di Praja Kejawen terdapat istilah Tanah Warisan, atau kalau bukan Tanah juga tunjangan berupa uang kepada anak keturunannya, maka ada istilah belanja warisan.

Seseorang yang diangkat menjadi pejabat oleh Raja dan karena pengangkatan tersebut ia memperoleh tanah lungguh, yang bersangkutan akan menerima nawala atau akta pengangkatan dari Raja sendiri. Pejabat yang baru tersebut wajib membayar uang pendaftaran kepada Raja, yang dinamakan pilungguh, sebesar empat real setiap jung. Karena sejak Palihan Nagari satu jung pajaknya berubah menjadi empat real. Artinya pada saat pengangkatan itu pejabat tersebut sudah membayar pajak setahun penuh untuk tanah lungguh yang diberikan kepadanya. Pajak itu dianggap sebagai bingkisan tanda bakti kepada Raja ( Bekti, Bukti Jw ).

Apabila tanah milik Raja itu dalam pemanfaatannya sebagian tanah itu dikuasai oleh Raja dan keluarganya sebagai sumber kehidupan dan sebagian lagi diberikan kepada para pejabat istana sebagai gaji maka rakyat kebanyakan yang hidup di atas lahan tersebut diberi hak sebagai penggarap. Dalam masyarakat feodal lama Raja menjadi pusat kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Terpusatnya kehidupan di Kasultanan itu mencerminkan konsep manunggaling kawulo gustiatau menyatunya antara rakyat dengan tuannya. Konsep yang paternalistik itu menggambarkan Raja sebagai wakil Tuhan di dunia sehingga Raja mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyat dan sebaliknya rakyat diwajibkan untuk mengabdi kepada Raja. Konsep semacam itu bukan saja merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan atau tinitah tetapi konsep itu menunjukkan pula adanya saling ketergantungan yang erat antara dua unsur yang berbeda yang tidak terpisahkan.

Dengan wibawa yang dimilikinya Bekel tampil sebagai mediator sekaligus sebagai legitimizer dalam melaksanakan pemanfaatan tanah lungguh. Sebagai poemegang hak atas tanah lungguh yang ada di pedesaan, para patuh tidak berurusan langsung dengan rakyat. Pengelolaan tanah lungguh itu sepenuhnya menjadi wewenang Bekel. Oleh karena itu Bekel, meskipun ia bukan berstatus sebagai pemilik tanah tetapi berhak menentukan siapa memperoleh apa. Bekel dengan kekuasaannya itu berhak menunjuk warga desanya untuk menjadi penggarap atau kuli. Setiap kuli diberi sebidang tanah pekarangan dan sebidang atau beberapa bidang tanah pertanian. Hak atas tanah pertanian itu adalah sekedar menggarap bukan memiliki meskipun ia dijinkan untuk mewariskan tanah itu kepada keturunannya. Hak semacam itu disebut hak anggaduh, sebagai ditetapkan dalam Rijksblad Kasultanan Ngayogyakarta ( Rijksblads van Sultanaat Yogyakarta 1918, No. 16, Pasal 1 ).

Sebagai pemilik tanah yang ada di Kasultanan Raja memiliki hak menguasai dan mencabut hak dari pemegangnya atau memberikan kepada pihak lain. Hak penguasaan tanah dalam sistem feodal semacam itu memberikan keleluasaan kepada penanam modal swasta asing berkembang di daerah Praja Kejawen. Tanah milik Raja disewakan kepada pemerintah kolonial Belanda lewat Gubernur Jendral, perusahaan kereta api milik pemerintah kolonial Belanda maupun perusahaan swasta, perseorangan bangsa Belanda dan Cina. Pejabat Belanda, pengusaha Cina, mapun perusahaan swasta Belanda itu menyewa tanah di beeerbagai beagian wilayah Kasultanan. Semula mereka menyewa untuk membangun tempat peristirtahatan tetapi kemudian berkembang menjadi perusahaan, perkebunan dan perusahaan lainnya.

Awal munculnya kapitalisme di Indonesia

Politik kolonial yang kapitalisme dan liberal secara formal diatur dalam undang-undang agrarian 1870. Pada tahun yang sama jalur kereta api pertama di Hindia Belanda dikelola oleh perusahaan swasta nederlandsch indesche spoorweg (NIS) yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi untuk diekspor ke pasaran eropa, tetapi pada perkembangan juga dipergunanakan untuk transportasi angkutan darat (penumpang). Pada tahun 1884 perusahaan kereta api Negara State Railway (SS) membangun jalur kereta api diwilayah timur jawa, pada masa yang sama juga berkembang dan lahir bank-bank milik pemerintah kolonial seperti De Javasce NV, De Post Poar Bank, Hulp en Spaar Bank, De Algemenevolks Crediet Bank, Nederland Handles Maatscappi (NHM), Nationale Handles Bank (NHB),De Escompto Bank NV,Nederlansche Indische Handelsbank rentan waktu 1828-1918. Bank ini dibangun untuk memberikan kredit kepada para partikelir atau pihak swasta eropa dalam melakukan ekspansi capital di Indonesia, Sistem penindasan terhadap petani semakin keras dengan masuknya kapitalisme dindonesia akan tetapi perlu juga menjadi bahan analisis kita bahwa, dengan masuknya kapitalisme di Indonesia melahirkan klas borjuasi pada saat itu,jawabannya adalah belum. Ini dikarenakan peran-peran tuan tanah yang masih dikuasai para raja dan keturunanan. Pemerintah kolonial memberiarkan pola penindasan feodal seperti ini tetap berjalan, karena kultur partiarki dimana raja adalah titisan tuhan dan rakyat sebagai kuli harus mengabdikan dirinya untuk mendapatkan berkahnya.

Lahirnya kultur perlawanan dalam gerakan petani

Pola penindasan feodal dan kolonial seperti ini, membuat petani melakukan perlawanan dan ada dua jenis bentuk gerakan perlawanan petani adalah aksi untuk melindungi kepentingannya dan membalas dendam kepada pihak kraton dan belanda, dengan melakukan aksi pembakaran dalam bulan-bulan menjelang panen di perusahaan perkebunan milik hindia belanda. Jenis protes yang kedua bersifat kolektif dan dua bentuk. Bentuk pertama adalah nggogol, jenis protes yang dianggap sah oleh pemerintah kolonial dan Kraton yaitu arak-arakan untuk mengadukan suatu tindakan kepada pejabat tinggi dan pepe (duduk di bawah terik matahari di ringin kurung depan sitihinggil, hingga raja mendengarkan permohonannya) atau alun-alun kraton. Bentuk yang lain adalah mogok, dimana para petani menolak kerja wajib, baik untuk kraton maupun perkebunan swasta atau pemerintah kolonial. Tindakan ini menurut pemerintah kolonial dan Kraton tidak sah dalam pengertian bahwa para petani telah melanggar aturan yang tertera di dalam pranatan (aturan yang dikeluarkan Lungguh atas nama sultan atau kasunanan).

Gerakan perlawanan petani Tradisional dalam bentuk Protes sosial

Ajaran Samin (Saminisme) yang disebarkan oleh Samin Surosentiko (1859-1914), adalah sebuah konsep penolakan terhadap budaya kolonial Belanda dan penolakan terhadap kapitalisme yang muncul pada masa penjajahan Belanda abad ke-19 di Indonesia.Sebagai gerakan yang cukup besar Saminisme tumbuh sebagai perjuangan melawan kesewenangan Belanda yang merampas tanah-tanah dan digunakan untuk perluasan hutan jati. Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang.Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri bentuk ini juga bisa dinamakan Mogok.

Otak intelektual gerakan Saminisme adalah Raden Surowijoyo. Pengetahuan intelektual Kyai Samin ini di dapat dari ayahanda, yaitu anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawatimur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan viguratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir) dan mencintai keadilan. Beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, dimana banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak. Pada saat itulah, Raden Surowijoyo melakukan perampokan pada keluarga kaya dan hasilnya dibagi-bagi kepada fakir miskin. Dia juga menghimpun para brandalan di Rajegwesi dan Kanner yang dikemudian hari menyusahkan pihak Gupermen. Pada saat itulah, Kyai keturunan bangsawan ini dikenal oleh masyarkat kecil dengan sebutan Kyai Samin yang berasal dari kata “sami-sami amin” yang artinya rakyat sama-sama setuju ketika Raden Surawijoyo melakukan langkah membrandalkan diri untuk membiayai pembangunan unit masyarakat miskin. Kyai Samin Surosantiko tidak hanya melakukan gerakan agresif revolusioner, dia juga melakukan ekspansi gagasan dan pengetahuan sebagai bentuk pendekatan transintelektual kaum tertindas (petani rakyat jelata) dengan cara ceramah dipendopo-pendopo pemerintahan desa. Isi dari ceramah ini yaitu keinginan membangun kerajaan Amartapura. Adapun pesan substantif yang didengung-dengungkan yaitu meliputi; jatmiko (bijaksana) dalam kehendak, ibadah, mawas diri, mengatasi bencana alam dan jatmiko selalu berpegangan akan budi pekerti.

Namun akhir pergerakan dari Kyai Samin Surosantiko di cekal oleh Belanda dan dibuang di Tanah Lunto pada tahun 1914, yang belum sempat mengaktualisasikan seluruh ide-idenya. Bukan hanya otak pergerakannya, bahkan kitab orang Samin yang ditulisnya juga di sita yang berjudul Serat Jamus Kalimasada, demikian pula dengan kitab-kitab pandom kehidupan orang-orang Samin. Kyai Samin Surosantiko merupakan generasi Samin Anom yang melanjutkan gerakan dari sang Ayah yang disebut sebagai Samin Sepuh. Sehingga masa kepemimpinannya, ajaran Saminisme terbagai dalam dua sekte, yaitu sekte Samin Sepuh dan sekte Samin Anom. Siklus kepemimpinan ini secara mati-matian berusaha menciptakan masyarakat yang bersahaja lahir dan batin. Kyai Samin memiliki sikap puritan, dia bukanlah petani biasa, namun dia adalah cucu dari seorang pangeran. Kyai Samin adalah orang yang gigih dalam menggoreskan kalam untuk membagun insan kamil dengan latar belakang ekonomi yang mapan.Masyarakat Samin memiliki tiga unsur gerakan Saminisme; pertama, gerakan yang mirip organisasi proletariat kuno yang menentang system feodalisme dan kolonial dengan kekuatan agraris terselubung; kedua, gerakan yang bersifat utopis tanpa perlawanan fisik yang mencolok; dan ketiga, gerakan yang berdiam diri dengan cara tidak membayar pajak, tidak menyumbangkan tenaganya untuk negeri, menjegal peraturan agraria dan pengejawantahan diri sendiri sebagai dewa suci. Menurut Kartodirjo, gerakan Samin adalah sebuah epos perjuangan rakyat yang berbentuk “kraman brandalan” sebagai suatu babak sejarah nasional, yaitu sebagai gerakan ratu adil yang menentang kekuasaan kulit putih.

Ajaran Samin bersumber dari agama Hidhu-Dharma. Beberapa sempalan ajaran Kyai Samin yang ditulis dalam bahasa jawa baru yaitu dalam bentuk puisi tradisional (tembang macapat) dan prosa (gancaran). Secara historis ajaran Samin ini berlatar dari lembah Bengawan Solo (Boyolali dan Surakarta). Ajaran Samin berhubungan dengan ajaran agama Syiwa-Budha sebagai sinkretisme antara hindhu budha. Namun pada perjalannanya ajaran di atas dipengaruhi oleh ajaran ke-Islaman yang berasal dari ajaran Syeh Siti Jenar yang di bawa oleh muridnya yaitu Ki Ageng Pengging. Sehingga patut di catat bahwa orang Samin merupakan bagian masyarakat yang berbudaya dan religius.

Gerakan Perlawanan Petani dari protes sosial menjadi gerakan perlawanan politik

Pada era abad 20 dengan kemenangan golongan liberal di Parlemen Belanda membawa angin perubahan pada perkembangan klonialismedi Indonesia, dengan dorongan poltik Etis.Dari sebelumnya paham liberalisme yang membiarkan swasta berperan sebesar mungkin dalam ekonomi, berubah menuju liberalisme yang menekankan peran Negara dalam memberikan landasan bagi pertumbuhan ekonomi seperti penyiapan infrastruktur ekonomi. Maka dibuatlah program yang dikenal sebagai Politik Etis ini memberikan kesempatan bagi pribumi untuk bersekolah dan juga mengurangi kepadatan penduduk di Jawa. Politik etis merupakan taktik untuk mendapatkan tenaga kerja yang terampil yang akan ditempatkan di pabrik dan perkebunan, serta taktik untuk membuka lahan baru untuk perkebunan diluar Jawa. Diperiode politik etis ini, berkembanglah borjuis-burjuis baru/ kelas menengah baru didikan Belanda dan lahirnya kelas yang memperhatinkan (terproletarisasi).

Terbentuknya organisasi rakyat yang modern pertama di Indonesia yang melahirkan ide seruan merdeka dan patriotisme Indonesia, organisasi ini didirikan atas inisiatif tokoh sosialis Belanda, Henk Sneevliet pada 1914, dengan nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) (atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Keanggotaan awal ISDV pada dasarnya terdiri atas 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP (Partai Buruh Sosial Demokratis) dan SDP (Partai Sosial Demokratis), yang aktif di Hindia Belanda.walaupun pendirinya orang Belanda tetapi anggotannya mayoritas adalah para kelas menangah baru yang berpihak pada kelas buruh dan tani. Karena ketika itu ISDV mulai aktif dalam penerbitan dalam bahasa Belanda, "Het Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars.

ISDV terus melakukan kegiatannya, meskipun dengan cara bergerak di bawah tanah. Organisasi ini kemudian menerbitkan sebuah terbitan yang lain,Soeara Ra’jat” ditambah dengan pekerjaan di kalangan Sarekat Islam, keanggotaan organisasi ini pun mulai berubah dari mayoritas warga Belanda menjadi mayoritas orang Indonesia. Pada 1919, ISDV hanya mempunyai 25 orang Belanda di antara anggotanya, dari jumlah keseluruhan kurang dari 400.000 orang anggota.Melihat semakin besar keanggotaan ISDV dan SI merah serta serikat rakyat, merupakan satu-satunya organisasi yang bergaris massa dengan tujuan melawan kolonialisme dan Indonesia merdeka, dengan kebulatan tekad kaum kelas menengah yang terdidik dan berpihak kepada kelas pekerja maka didirikanlah Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 mei 1920, partai pertama kali sertasatu-satunya yang mengusung kemerdekaan Indonesia untuk lepas dari penindasan kolonialisme dan feodalisme pada saat itu, yang akan menginspirasi gerakan-gerakan partiotik dan nasionalisme dikemudian hari.

Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para petinggi Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah, “Perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dalam pemberontakan ini.”

Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo, Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru meledak pada 12 November 1926. Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Banyumas, Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan yang paling dahsyat terjadi di Banten. Yang menjadi target utama pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki tangan Belanda dalam menindas rakyat dan Indonesia merdeka dari penjajahan kolonial. Sebenarnya ada sesuatu yang menarik dalam pemberontakan PKI 1926 melawan panjajahan kolonial adalah peranan Kiai atau tokoh agama Islam dengan mazhab Tarekat yang menggerakan massa dan hubungannya dengan ideology komunis, keterbatasan waktu dan eksplorasi literatur-literatur sejarah yang menerangkan peranan para Kiai atau tokoh agama Islam menjadi kendala dalam tulisan ini. Tanpa mengurangi substansi tulisan ini akan diekplorasi lagi tentunya dengan literature-literatur yang akan dilengkapi.

Daftar Pustaka :

1) Shiraishi, Takashi. “Zaman Bergerak :Radikalisasi Rakyat di Jawa 1912-1926 “.

Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997.

2) Mugfaganti, Titi, Dra.Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora

JawaTengah”, Jarahnitra, 2004, Yogyakarta.

3) Farchan bulkin, ‘Negara, Masyarakat, dan ekonomi,” dalam Prisma, no. 8, 1984